kauselaludihatiku

apa yang terkirim dari-Nya; orang-orang terbaik dan tercinta, yang mengkhianati, jalan hidup, saat-saat sulit, kebahagiaan, dan semua yang menghampiri dalam hidupku, hingga ke hal-hal yang remah, adalah nikmat untuk dikenang, diresapi, dihayati, dan ditangkap moment-moment puitiknya; untuk disimpan dalam hati. untuk segala itu; kauselaludihatiku.

My Photo
Name:

lelaki, majalengka-tiga dekade silam, jakarta.

Wednesday, September 19, 2012

Huma di Atas Bukit

"Nampaknya tiada lagi yang diresahkan, dan juga tak digelisahkan. Kecuali dihayati, secara syahdu bersama, selamanya..."  (Huma di Atas Bukit - God Bless)


Tak pernah terlintas keinginan di benakku, hidup terpencil di sebuah dusun kecil tak berlistrik, tersembunyi di balik bukit kecil gersang, dengan huma sebagai media tumbuh tanaman palawija di atasnya. Sebuah dusun dengan rumah-rumah kayu, berbaris di sisi sebatang jalan makadam yang membelah di tengah-tengahnya. Sementara di bagian selatan, timur, dan utara; sebatang sungai Kali Serang melingkar, menjadi pembatas dusun itu dengan desa sebelah. Sebuah wilayah geografi yang membuat aku terheran dan ingin mencari tahu, siapa leluhur yang pertama mendiami dusun itu, dan untuk alasan apa mereka ingin berdiam di sana. Tapi ini kenyataan yang benar-benar harus aku hadapi, sebuah petualangan berat harus dimulai di Kebon Agung, dusun paling terpencil dari Desa Lajer, Kecamatan Penawangan, Kabupaten Grobogan. Dua bulan--Agustus hingga September 1996--aku dan ketiga mahasiswa lain, akan melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sana.

Seusai acara protokoler di pendopo kabupaten,  kami bergerak--masih dengan bisa yang sama--menuju kota kecamatan Penawangan. Lalu kami melanjutkan dengan truk terbuka ke Desa Lajer. Sebuah perjalanan berat, karena selama tujuh belas kilometer kami harus menikmati jalan rusak bergelombang. Dua jam kami baru bisa sampai ke desa yang dituju. Ternyata, perjalanan tak berakhir di situ. Masih harus berlanjut. Dengan diantar empat sepeda motor aparat desa, kami menuju dusun Kebon Agung. Motor-motor tua tertatih, mendaki bukit hingga ke puncaknya yang terbuka, dengan huma terhampar, dan sebuah gardu pandang polisi hutan. Jalan setapak itu kemudian menurun, dan digerbang dusun sebatang beringin tua tumbuh tegak. Di bawahnya ada dua kuburan dengan hanya batu besar sebagai nisan penanda. Matahari yang terhalang bukit, membuat beringin tua itu terlihat redup. Cukup membuat berdiri bulu tengkuk.

Lalu kami diterima di rumah Pak Kasno, kepala dusun yang selama dua bulan ke depan akan menjadi induk semang. Rumah kayu itu terlihat lapang di bagian depan, namun di bagian belakang hanya memiliki dua kamar sempit yang keduanya akan kami gunakan. Di belakang kamar sempit yang berhadapan itu, ada ruang makan sederhana, dengan meja kayu tua, dan sebuah lincak jati besar sebagai bangku utama. Di bagian kanan rumah, adalah dapur dengan dua tungku tanah berbahan bakar kayu. Sedangkan di sisi kiri, kandang sapi berisi tiga hewan ternak kepunyaan empunya rumah. Bau pesing kencing sapi, terasa menyeruak ke ruang makan. Kami tak bisa membayangkan jika harus makan di sana.

Kondisi rumah seperti itu sepertinya cukup membuat nyali dan selera kami ciut. Tapi ada satu hal lagi yang membuat kami sangat ragu untuk bisa bertahan di sini dua bulan lamanya. Rumah ini, juga rumah-rumah lain di dusun ini, tak memiliki kamar mandi, apalagi WC untuk buang hajat Untuk keperluan maha penting itu, termasuk mandi, penduduk dusun ini terbiasa menunaikannya di Kali Serang. Kami terhenyak diam, dan saling berpandangan. Bagaimana jika kami kebelet tengah malam?

Hari-hari berat pun dimulai. Membiasakan diri mandi di sungai, atau makan malam yang tiba-tiba harus kehilangan selera karena aroma tak sedap dari kandang sapi, bukanlah perkara mudah. Belum lagi membiasakan dengan menu makan yang jauh dari yang kami bayangkan. Di minggu pertama, kami--terutama dua mahasiswi--mulai dihinggapi rasa tertekan yang hebat. Sepertinya, dua bulan ke depan, akan terasa panjang dan melelahkan.

Rupanya, keterpaksaan membuat kami harus cepat beradaptasi. Dan lambat laun, malah menikmati hal-hal sederhana yang ada di dusun ini. Kami mulai menikmati riuh pepujian anak-anak dari pengeras suara di surau, nada lenguh sapi, atau indahnya purnama yang tak terpolusi oleh sinar lampu merkuri. Indah meski sangat-sangat bersahaja. Terlebih dengan keramahan seluruh warga dusun. Rekah senyum tulus ibu-ibu, tegur sapa bapak-bapak, atawa tawa jenaka anak-anak, menjadi pengobat sepi kami di dusun terpencil ini. Kami mulai riang larut dalam acara-acara di dusun ini; seperti nyulur (menanam benih kedele), pengajian malam jumat, atau pesta kenduri yang membuat kami bisa makan lebih enak dari biasanya.

Kami pun mulai terbiasa dengan hal-hal pahit yang dialami dusun ini. Seperti jadwal pengeringan Kali Serang setiap dua minggu sekali yang membuat denyut nadi dusun ini sedikit terganggu. Kali Serang adalah sebuah sungai yang berasal dari Bendungan Kedung Ombo, dan ketika musim kering, setiap dua minggu pintu air bendungan ditutup. Ini membuat pasokan air ke Kali Serang menjadi tidak ada sama sekali. Ada solusi unik untuk mandi, yaitu kami harus mengeruk pasir di dasar sungai yang mengering. Kami membuat lubang seperti kolam kecil, sehingga air mengalir dari kerukan pasir tersebut. Kami harus sabar menunggu air penuh, lalu membuangnya dulu karena keruh. Terus menerus seperti itu, sampai air yang keluar lebih bening. Di sini kami benar-benar harus menghargai setiap tetes air.

Kepahitan lain, seperti gagal panen atau pertolongan medis yang minim ketika sakit, membuat penduduk warga ini teruji. Teramat jarang, bahkan tak pernah mendengar mereka mengeluh. Lisan mereka, lebih banyak mengucap syukur, memuji segala PemberianNya. Garis wajah yang gembira ditempa kerja keras, membuat kami harus belajar banyak tentang menghargai hidup.

Dua bulan yang gersang di dusun terpencil, kami melihat pelajaran tentang keberanian menjalani hidup. Karena sepertinya bagi mereka, tak ada lagi yang diresahkan, dan juga tak digelisahkan.

Kecuali dihayati, secara syahdu bersama, selamanya....


(Corundum September 2012, mengenang Dusun Kebon Agung, di kemarau panjang Agustus-September 1996)



Friday, July 27, 2012

Reformasi

enam belas tahun silam, 27 Juli 1996, pagi-pagi interlokal ke rumah, mengucapkan selamat ulang tahun kepada bapak, sekaligus meminta restu untuk pergi ke lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) di dusun terpencil tak berlistrik di lipatan ketiak Grobogan.

Sorenya, dengar berita Jakarta bergejolak; Jalan Diponegoro bersimbah amarah dan darah. Lalu suhu politik pelan-pelan mendekati titik didih. Beberapa kawan--sekalipun ia pemberani--akhirnya memilih tiarap dan sembunyi. Di lokasi KKN, tidak boleh bicara politik apalagi bicara miring tentang penguasa. Beberapa yang tetap vokal, diam-diam 'diambil' oleh, entah, aparat atau kaki tangan kekuasaan. Perlahan, di dusun dan desa-desa terpencil, situasi pun ikut mencekam.

Enam belas tahun silam, aku menjadi pengecut yang memilih diam, khawatir terpeleset di masa-masa akhir perkuliahan. Karena di pembicaraan telepon pagi-pagi, aku sudah berjanji pada bapak, untuk lulus secepatnya....

[mengenang para sahabat yang pemberani, yang mencintai negeri ini]

Thursday, April 19, 2012

Dagang Ilmu

Selembar peci lusuh, menutupi rambut peraknya dari panas matahari yang sedang mekar-mekarnya. Giginya yang tak lagi lengkap, membuat sepasang pipinya kempes tak berisi. Juga keriput kulit, semakin menegaskan kalo ia sudah berusia senja. Tapi dari kerongkonganya, pita suaranya masih lantang meneriakkan; “Kitaabb… kitaabb…”

Sepasang pundaknya yang tak bisa dibilang kekar, bergantian menggendong kardus berisi buku yang diselendangi kain kelabu. Jika sudah lelah di pundak kanan, ia pindahkan ke kiri. Begitu terus berganti-ganti, dari hari ke hari.

Aki, demikian kami menyebutnya, kerap datang ke rumah kami. Awalnya ketika Rana membutuhkan buku Iqro baru, entah kebetulan, ia datang untuk pertama kali. Ketika itu ia tak membawa apa yang kami cari, tapi menjanjikan akan membawanya dua atau tiga hari lagi.

“Saya pesan dulu ke koperasi, besok atau lusa barangnya biasanya sudah datang” demikian ia memberikan garansi.

Dua hari yang dijanjikan, ia menepatinya. Bola matanya yang mulai memudar, terlihat berbinar ketika ia memberi salam di halaman rumah. “Neng, ini kitabnya sudah ada” ujarnya penuh gembira.

Lalu kami mengobrol. Tak disangka, ternyata ia berasal dari Majalengka. Dari sebuah desa kecil bernama Lame, berjarak empat kilometer saja dari Leuwimunding, desa tempat dulu aku mengabiskan masa sekolah dasar. Kami pun ngobrol makin akrab.

Sudah lama ia menggeluti usaha berjualan buku keliling. Awalnya karena ia tak memiliki banyak pilihan. Ia tak memiliki keahlian lain, sementara di desa pun ia tak memiliki lahan untuk bisa digarap dan dijadikan mata pencaharian. Beruntung ia memiliki kenalan yang mengantarnya penjadi penjaja buku.

“Kitab-kitab ini saya ambil di koperasi, lalu saya setor kalo sudah laku” katanya, sambil menawarkan kumpulan hadits Bukhori.

“Meski tak menentu hasilnya, tapi cukup buat saya ngontrak di blok paling belakang rame-rame dengan teman-teman. Ada uga sedikit yang saya tabung. Tiga bulan sekali saya pulang kampung. Bisa lebih sering kalo saya kangen cucu” katanya sambil malu-malu menghirup teh hangat yang dihidangkan.

Sebelum ia pamit pergi, ia tersenyum dan berkata; “Habis mau apa lagi. Saya ini bodoh, gak punya apa-apa. Tapi saya ingin jadi orang berguna, meski saya sudah tua. Makanya saya jualan buku. Dagang ilmu”.

Hari itu, rumah kami kedatangan lagi orang tua yang hebat dan mulia.


(Corundum, medio 2011)

Tuesday, March 27, 2012

Sekarang Ia Punya Troli

Perempuan itu sudah beranjak menua. Ia tak tahu, kapan persisnya tahun ia dilahirkan. Ia hanya bisa mengingat—itu pun kata orangtuanya—ia terlahir di Ngawi, beberapa saat setelah kerusuhan Madiun meletus di bawah kepemimpinan Muso. Ia tersenyum getir, seolah peristiwa getir pula yang menjadi penanda kelahirannya.

Beberepa dekade setelah peristiwa getir itu, kegetiran sepertinya tak jua beranjak dari hidupnya. Hingga nasib, membawanya hidup jauh dari sejahtera di Pedurenan, bersama anak-menantu, dan cucunya.

“Saya ingin tetap bekerja, ingin ngasih cucu saya uang jajan” katanya, ketika aku bertanya kenapa ia masih mau berjualan gula pasir kemasan dari rumah ke rumah.

“Beruntung, ada juragan yang bolehin saya bawa dulu barang jualannya, saya cuma ninggal katepe di tokonya”, lanjutnya, sambil menyeka butiran keringat di kening, yang tertutup kerudung merah jambu lusuh.

Aku diam, hanya menerka berapa berat beban yang selalu ia pikul setiap hari.

“Sehari saya bawa 15 kilogram gula, saya iderin ke blok C sampe blok H. Dari juragan harganya sebelas ribu tujuh ratus, saya jual dua belas ribu. Lumayan, saya dapet tiga ratus perak tiap kilonya” ia tersenyum, sepertinya bangga dengan rejeki yang didapatnya.

Aku masih diam, sambil menghitung-hitung berapa total laba yang ia dapatkan setiap hari. Aku hitung pula laba itu, jika dikonversikan dengan kebutuhan hidup, kira-kira dapat apa saja.

“Tapi alhamdulillaah, ada saja yang baik hati. Kadang ada yang beli sekilo tiga belas ribu, kadang ada yang kasih lima belas ribu, tanpa kembali” ujarnya, sambil membenahi selendang yang dijadikan alat mengangkut beban.

“Tapi saya ndak minta lho, saya hanya menerima apa yang diberikan kepada saya” dengan bersahaja ia mencoba membela harga dirinya.

Lagi-lagi aku tetap terdiam. Aku hanya merasa tak berharga apa-apa dibanding wanita renta ini…

---

Pagi sangat terik, meski matahari belum benar-benar meninggi. Di sela riuh suara anak-anak pengunjung kolam renang, lamat-lamat aku mendengar suara lirih sedikit lantang; “Gulaku… Gulaku…Gulaku”

Ah, nenek hebat itu sedang menjajakan dagangannya. Namun, kali ini ada yang berbeda. Ia tak lagi menggendong dagangannya dengan selendang yang melingkar di pundaknya. Kini ia menyeret sebuah troli.

“Alhamdulillaah, ada yang ngasih saya roda. Lebih ringan, dan kini saya bisa bawa lebih banyak dagangan". Ia berbinar mengabarkan.

Aku hanya senyum, dan lagi-lagi diam.

“Gusti Alloh Maha Baik, dan saya juga yakin, banyak orang-orang baik pada saya…”

Saya hanya diam. Dan diam-diam sekuat tenaga menahan, agar air mata tak jatuh berlinang…



(Corundum, di penghujung Maret yang kering…)

Monday, August 01, 2011

Kepergian Gatan

Jumat, pagi pukul enam seperempat, berita dari Pak RT membuatku terperanjat.

“Pak Jepe, Gatan, putra kedua Pak Gatot barusan meninggal. Mohon bantuannya menyiapkan pengurusan jenazah. Saya mau urus surat kematian ke Pak RW”.

Spontan aku beristirja (mengucap innalillaahi wainnailayhi rojiun), lalu, tanpa sempat membuka gerbang dan meyilakan Pak RT masuk halaman, aku bertanya; “Meninggal karena apa Pak?”.

“Belum jelas Pak, diagnosa dokter sih kemungkinan DBD”, jawabnya seperti bergegas, dan segera mengucap salam.

Aku masih terdiam¬, membayangkan Gatan, anak licah berusia empat tahun, baru saja meninggal. Berkelebat bayangan dalam ingatan, saat bocah lucu itu di jalan konblok komplek bermain mobil-mobilan. Ah, usia memang rahasia Tuhan.

---

Hanya sempat cuci muka, dan mengabarkan kabar duka ini kepada ummi yang tengah menyiapkan sarapan, aku langsung menuju rumah Pak Gatot. Sudah terlihat beberapa warga di rumah itu. Beberapa diantaranya ibu-ibu sedang menenangkan ibunda Gatan. Pak Ronald, yang masih gemetar karena tadi pagi memangku tubuh Gatan yang sudah kaku ke klinik Assalam, tampak sigap menyiapkan beberapa persiapan.

“Kita beli kertas kuning untuk bendera tanda duka”, katanya mengajakku. Aku mengiyakan.

Pak Purwa yang sudah rapi hendak pergi kerja, tak ketinggalan ikut sibuk menyiapkan prosesi pemulasaraan. “Kita perlu tenda untuk pelayat, juga untuk bilik memandikan jenazah”, katanya memberi arahan.

Semua sibuk, saling membantu, saling menyiapkan berbagai keperluan.

Pak Oki cekatan mengeluarkan kursi-kursi untuk tempat duduk tamu pelayat. Pak Bambang menyiapkan selang untuk menyalurkan air dari rumahnya. Pak Nardi, Pak Hari, Pak Ferry, Pak Imam, dan Pak Purba membentangkan terpal untuk dijadikan bilik pemandian. Ibu-ibu menggelar tikar, lalu mengaji ayat-ayat A Qur’an. Bu Syahruddin menyiapkan masakan untuk sarapan di beranda rumah Pak Ronald. Semua berjibaku, tanpa diminta dan tanpa saling menunggu. Semua lebur untuk satu kebersamaan, tanpa ada sekat perbedaan.

Beranjak siang, beberapa warga pamit karena tak mungkin meninggalkan pekerjaan kantor. Beberapa lainnya, memilih ijin atau cuti kerja. Semua saling memahami masing-masing kepentingan.

Setelah proses pemulasaraan selesai, kemudian dilanjutkan dengan mensholatkan jenazah dengan diimami Pak Purwa. Sesaat kemudian ambulans datang, untuk segera mengantarkan jenazah Gatan ke Purwakarta.

Iring-iringan pengantar jenazah pun meninggalkan Corundum, diiringi dengan tatapan warga yang berkaca-kaca. Dari balik kemudi mobil, aku menoleh ke belakang. Sesuatu tercekat di tenggerokan, ketika Zaki, sahabat Gatan, menangis dan berteriak “Aku ingin ikut Gataaaaannn!!!”.

---

Di Purwakarta, Gatan dimakamkan di samping makam uyutnya yang masih bertanah merah dan dengan taburan kembang setaman. Semua larut dalam duka kesedihan.

Pulang dari pemakaman, saat istirahat sejenak sebelum kembali ke Bekasi, aku berbicara dengan nenek Gatan. Ia sangat terpukul sekali, ia bahkan bertanya, kanapa tidak ia saja yang telah lanjut usia yang dipanggil Tuhan. Ia sedih karena sang cucu belum puas mereguk kehidupan. Aku, hanya membisu, hanya mencoba memahami perasaan seorang nenek, ibu dari seorang ibu yang ditinggalkan buah hatinya. Yang bahkan rela jika harus menggantikan hal-hal pahit yang dialami orang-orang yang dicintainya.

Di lain kesempatan, dengan berbisik Pak Ronald berujar kepadaku; “Itulah seorang ibu, selalu ada cinta buat anak-anaknya. Saya masih ingat ketika mendiang kakak perempuan saya wafat. Ibu saya, yang dalam beberapa hal dengan almarhum pernah berselisih paham, adalah orang yang sangat-sangat terpukul dan kehilangan”.

Ah, lagi-lagi aku makin percaya, seorang ibu memang memiliki cinta yang tak terbantahkan.

---

Pulang ke Bekasi, sepanjang perjalanan aku mendengar ibunda Gatan masih saja terisak menangis. Lamat-lamat aku mendengarnya terbata kerap berucap, “Kenapa Dede gak ikut pulang? Kenapa Dede kita tinggalkan?”.

Untuk kesekain kalinya, aku tak menyangsikan lagi, betapa kasih ibu sepanjang jalan. Selama hayat dikandung badan…



[Teruntuk Gatan. Kepergiannya membuka mata dan hati, bahwa kami yang ditinggalkan, akan selalu bersama saling menjaga. Dan untuk para ibu yang tak pernah kehabisan mencurahkan cinta]

Monday, October 18, 2010

Bermimpi DiundangNya

masih selalu terekam di benak sebuah tebak-tebakan waktu kecil ; "naik apa yang enggak bisa turun ?" dengan terkekeh pasti jawabannya; "naik haji !".

Bagi kaum mukmin, naik haji lebih dari sekedar ritual ibadah, bisa jadi ia adalah sebuah kerinduan, sekaligus sebuah panggilan untuk melengkapkan rukun islam.Berhaji bukan sekedar berkumpul di Masjidil Haram, mengitari Ka'bah, atau melempar jumrah di padang arofah. Naik haji bukan saja sebuah perjalanan fisik melintasi benua, menyeberangi samudara luas semata. Naik haji bukan sekedar menabung keping demi keping rupiah sehingga terkumpul sejumlah nominal yang bisa ditukarkan dengan ONH. Naik haji lebih dari sekedar itu.

Bagi yang belum pernah, naik haji adalah kerinduan. dan bagi mereka yang di depan namanya sudah berhak ditulis huruf capital "H", naik haji juga sebuah kerinduan untuk datang lagi ke baitullaah. beberap orang yang sudah naik haji bilang, mekkah selalu dirindukan untuk kembali diziarahi. ada magnet luar biasa yang membuat seseorang selalu ingin kembali datang ke sana.

Buat sebagian yang beruntung, mereka bisa bolak-balik tiap tahun untuk naik haji. Akan tetapi buat yang tidak beruntung, haji bisa jadi cuma impian yang nyaris mustahil jadi kenyataan. Besarnya keinginan dan kerinduan untuk naik haji, terkadang terhalang oleh besarnya ONH yang harus ditebus. Menabung menjadi andalan, tapi entah untuk berapa tahun agar bisa pundi-pundinya penuh dan bisa mengantar berangkat ke tanah suci. Buat yang kurang beruntung, cukup hanya dengan menggantungkan poster masjidil haram di ruang tamu, atau mushola mungil di rumah, sambil berhayal suatu saat bisa jadi tamu Allah.

Pada saat pemberangkatan naik haji, banyak orang yang pergi mengantar. Entah itu cuma sampai alun-alun kabupaten, sampai asrama haji, atau sampai ke gate departure bandara, dan memandangi rombongan jamaan terbang bersama burung besi raksasa. Terkadang barang bawaan mereka yang mengantar jamaah berangkat haji, sama banyaknya dengan bekal bawaan calon haji itu sendiri.

Suatu ketika, di suatu musim haji, ada tetangga di Majalengka ada yang berangkat ke tanah suci. Persiapan keberangkatannya, rame luar biasa. Dari mulai ngaji yasinan, keluar masuk tamu yang ngasih doa restu, sampe pemberangkatan ke pondok gede. Beberapa pengantar yang telah berusia tua, tampak siap-siap dengan bekalnya. Ada rantang, ada termos air, kue-kue kering, lontong, telor asin, dan segala kudapan lainnya. Bagi yang ikut sampe asrama haji, mereka juga udah menyiapkan obat anti mabuk perjalanan, minyak angin, dan kipas dari bambu sebagai air conditioner di jalan. Semua disiapkan dengan cermat.

Tergelitik, aku mencoba bertanya kepada mereka, apa sih motivasi nganterin ke asrama haji? Toh banyak pihak yang sudah siap sedia dengan segala panitia dan posko haji. Jadi kenapa harus repot-repot nganter mereke ke sana ?
Lalu, bibir lugu mereka memberi jawaban sederhana: “Anggap saja kami yang pergi ke sana. karena kami begitu merindukan untuk bisa sampai ke Mekkah.”

Ah, keterbatasan mereka yang membuat sedemikian menganalogikan bahwa mengantar jamaah haji aaja adalah sebuah perjalanan yang mampu memenuhi kerinduan mereka. Mereka yang secara materi tidak beruntung mampu membayar ONH, ternyata memiliki semangat luar biasa untuk bisa naek haji. Mereka juga bilang, siapa tahu Alloh SWT mencatat pahala mengantar jemaah haji, akan sama dengan pahala naik haji itu sendiri. Mereka berharap para jamaah juga menyampaikan doa-doa para pengantar di Ka'bah kelak. Mereka mungkin menganggap jamaah haji itu sebagai utusan, sebagai kurir doa, karena mereka tak mampu menempuh perjalanan itu sendiri. Dan mereka berharap, siapa tahu tahun depan, atau entah kapan, mereka bisa memenuhi undangan Allah tersebut...

Aku hanya diam, dan lambat laun merindukan hal yang sama, disambutNya di Baitulloh sebagai tamu Alloh SWT.

Labbaik kala Allahumma Labbaik....

Tuesday, June 08, 2010

LANTAK

Ruangan itu lengang. Tak ada siapa pun, juga pemilik kursi bersandaran kepala itu. Dua buah danish croissant sebesar kepalan tangan, masih belum tersentuh di atas meja. Cangkir bergambar bunga, tak lagi mengepulkan asap aroma kopi, sepertinya belum sempat diminum dari sejak diseduhkan office boy tadi pagi. Laptop putih mutiara dibiarkan hidup, hanya lampu LED indicator battere berwarna hijau toska, berkedip. Dari speaker Harman Kardon-nya, terdengar lirih lagu Dealova yang sepertinya diputar berulang-ulang. Televisi empat belas inch di sudut ruangan sedari tadi masih hangat memberitakan, Jakarta pagi ini kembali diguncang teror bom.

---

Agak kaget ketika Lilik, sekretaris Corporate Communication, memintaku untuk menghadap Mbak Dian--demikian ia lebih suka dipanggil, ketimbang panggilan “Bu” atau bahkan “Boss”—di ruangannya.

“Pe, ada berita bagus, kita dapet hak siar MU maen di Jakarta. Kayaknya kamu harus siap-siap sibuk”, wanita grand manager berwajah teduh itu mengabarkan penuh binar di bola matanya. Aku tak kalah kagetnya. MU? Klub juara Liga Inggris, juga juara dunia itu, akan maen di Jakarta? Benakku lalu penuh warna.

“Kita mungkin dapat hak siar seluruh rangkaian kegiatan MU selama di Jakarta. Dari penyambutan di Bandara, training session, meet and greet, charity ceremonial, dan tentunya, siaran eksklusif pertandingan langsungnya. Tolong kamu siapkan hal-hal yang berkaitan dengan promosinya. Termasuk budget, jika kamu perlu shooting untuk keperluan promosi. Kita punya waktu dua bulan. Kamu bikin yang bagus. Aku percaya sama kamu, Pe”

“Baik, Mbak..” jawabku singkat. Seluruh kata masih tercekat oleh kekagetan berita Si Setan Merah itu. Juga kegamangan akan tanggung jawab atas kepercayaan itu.

“Oke, untuk awal, bikin dulu promo teaser. Kamu pilihin footages-nya dari stockshoot BPL yang kita punya. Tampilin yang hebat-hebat, seperti Ronaldo, Rooney, Giggs, atau siapa aja lah…”

“Tapi, Mbak, Ronaldo masih dalam proses negosiasi transfer ke Madrid. Kalo jadi pindah sebelum mereka tour ke Jakarta, kayaknya Ronaldo udah gak di MU lagi…”

“Gak apa-apa kamu siapin aja dulu, kalo memang Ronaldo pergi, tinggal take out aja footage dia”

“Baik, Mbak, segera saya kerjakan” jawabku seperti memberi isyarat untuk segera pamit.

“Sekali lagi Pe, Aku percayakan ke kamu. Makasih ya…”

Aku tak menjawabnya, hanya tersenyum. Senang karena harus mengerjakan sesuatu yang memang sangat aku suka kerjakan. Terlebih, mendapat kepercayaan dari atasan sedemikian besarnya.

---


Hari-hari berikutnya adalah hari-hari penuh kerja keras. Juga keriangan. Meski beberapa malam dilewatkan dengan begadang, tak juga menjadi halangan dan sesuatu yang harus dikeluhkan. Graphic Designer dan Video Editor bahu-membahu mengerjakan hal-hal untuk keperluan promo on-air dan off air. Divisi off-air event dan public relations juga tak kalah sibuk menyiapkan press conference di beberapa venue di berbagai kota, dan itu tak membuat mereka lantas kehilangan gairah dan energi. Semua bekerja penuh riang dan dedikasi.

Sebagai sebuah brand internasional, MU memiliki pattern dan regulasi yang sangat ketat. Meski membuat ribet dan pusing, semua mahfum dan mesti menghormati. Berbagai kendala yang berkaitan dengan copyright, kerap menjadi sandungan dan benar-benar merepotkan. Tapi, semua berjalan dengan lancar dan menyenangkan.

“Pe, LOC minta kita gak pake footages dari Liga Inggris yang kita punya. Berarti semua promo on air kita harus diturunin dulu. Besok mereka kirim kaset footages yang mereka punya. Kita ngikut aja lah”, pada H-23 Mbak Dian memberi arahan.

Revisi dilakukan.

“Pe, mereka minta, official sponsor ditampilin logo-logonya. Kamu bikin kecil aja lah, yang penting kelihatan. Toh promo on air ini gak ada charge-nya alias gratisan”, Mbak Dian, enam hari berikutnya.

Revisi kembali berulang.

“Press con di MU café kayaknya bakal dihadiri banyak wartawan olahraga. Kita bikin yang special, supaya feedbacknya juga optimal. Bikin VT yang bagus ya, bikin seolah-olah event ini yang terhebat dalam sejarah sepakbola negeri kita. Pasti wartawan itu menulis yang sama hebatnya di koran mereka. Artinya promosi kita punya penetrasi yang maksimal”, masih dengan energi yang sama, Mbak Dian menyemangati semua pasukan.

Semua bekerja, seperti rangkaian komponen mekanik yang saling berkaitan dan berkontribusi.

“Surabaya kita bikin merah! Kita bikin acara nonton bareng di sana. Kita hibur penggila sepakbola Surabaya supaya gak kecewa karena gak bisa menonton langsung ke Jakarta. Bikin yang menarik dan menghibur. Kabarkan acara ini secepatnya dengan promo on air. Full graphic aja, gak apa-apa!” Mbak Dian mengeluarkan strategi beberapa hari menjelang pertandingan digelar. Amunisi lain yang mungkin sangat berharga.

Tak ada energi yang terbuang percuma. Semangat semakin meninggi.

Seperti menyambut tamu besar, semua persiapan matang dikerjakan. Ada beratus, bahkan beribu orang yang telibat di event ini. Sisi komersial dan olahraga saling bergandeng tangan. Inilah industri tontonan mutakhir. Olahraga tak melulu hanya orang bersimbah peluh di lapangan. Tapi kini menjelma menjadi mesin pencetak uang. Juga hiburan bagi jutaan penggemar yang mengelu-elukannya. Olahraga yang mempersatukan hati jutaan orang. Olahraga yang menghidupi banyak kepentingan. Olahraga yang memupus sekat-sekat perbedaan. Semua lebur dalam satu kegembiraan. Kerinduan menyaksikan sang klub juara dunia, bertarung dengan pemain-pemain terbaik pilihan public Indonesia. Dan hari yang dinanti itu, tinggal menghitung jari saja.

---

Jumat, 17 Juli 2009, empat hari menjelang pertarungan yang dinanti itu, pagi jam 07.47 WIB, Mega Kuningan diguncang ledakan dahsyat mematikan. Hotel megah itu meradang. Selang sepuluh menit berikutnya, hotel yang sama megahnya, di area yang sama, diguncang ledakan yang tak kalah hebatnya. Puluhan terkulai layu dengan tubuh tercabik. Jiwa-jiwa melayang di tempat, juga di rumah sakit beberapa saat setelah korban itu dievakuasi. Hotel tempat kelak bintang-bintang dari Manchester menginap itu, dilukai oleh bom bunuh diri. Sebuah pesan singkat pada dunia seketika terkirim, negeri yang ramah-tamah ini, tak aman untuk dikunjungi. Apalagi berpesta sepakbola bagi pemain-pemain terbaik dunia.

Gugup dan gemetar aku memasuki ruang kerja. Bagaimana nasib event yang sudah kita persiapkan dua bulan sebelumnya? Berkelebat bayangan riuh tribun Stadion Senayan yang bergetar hebat oleh nyanyian “Garuda di Dadaku” dari lebih tujuh puluh ribu penontonnya. Juga masih kental bayangan berfoto bareng dengan beberapa pemain pujaan. Betapa jarak yang sangat dekat dengan mereka, bukan sekedar gambar hidup di layar televisi. Aku tak sanggup lagi memimpikannya…

Aku memasuki ruangan GM Corcomm sendirian. Tak mendapati siapapun. Lengang. Hanya televisi empat belas inch yang mengabarkan berita hangat pengeboman itu. Juga lagu lirih Dealova dari laptop putih mutiara.

Aku hanya merasakan, hati pemilik ruangan ini pasti sedang gundah. Sedih. Sesedih menatap korban yang bergeletakan. Juga keluarga yang ditinggalkan. Wanita berparas lembut itu pasti kini sedang murung menanti ketidakpastian, hingga pagi ini ia tak sempat menikmati kopi dan Danish croissant kesukaannya. Petaka ini benar-benar akan menghancurkan segalanya. Hancur benar-benar. Lantak.

**mengenang kesibukan--yang riang gembira--setahun lalu.. Kita Tidak Takut !!**